Sertifikasi Demi Ketahanan Pangan

Pertanian adalah bidang yang menjadi sendi ‘utama’ kehidupan. Karena kebutuhan yang pertama disebutkan adalah pangan. Pangan menjadi kebutuhan primer manusia dan makhluk hidup lainnya. Pangan adalah kebutuhan yang sifatnya hakiki dan merupakan salah satu produk hasil pertanian. Maka, baik keberadaan dan segala hal yang berkaitan dengan pangan akan menjadi “gagasan” yang setiap hari menjadi perbincangan.
Salah satunya adalah tentang persoalan keamanan, mutu dan gizi pangan. Indonesia sebagai negara hukum, dengan lantang mencetuskan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan.

Di mana dalam aturan perundang-undangan tersebut, menjelaskan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun mutunya aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, agar dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara kontinu. Dari pengertian yang luas tersebut, maka pangan melibatkan banyak struktur di dalamnya. Sebut saja pertanian, perdagangan (jual beli pangan), agama (pandangan keyakinan tertentu soal pangan, misalnya dalam Islam yang mengharuskan ke-halal-an dalam pangan) hingga sosial.

Selanjutnya, masih dalam Undang-undang Pangan;
1. Pasal 86 menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan, wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan.
2. Pasal 94 menyebutkan tentang sanksi terhadap setiap orang yang melanggar standar keamanan pangan dan mutu pangan. Yaitu mereka yang melanggar ketentuan pemenuhan standar mengenai label kemasan pangan, pangan tercemar sampai dengan pelanggaran impor pangan, akan dikenai sanksi administratif berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi dan atau peredaran; penarikan pangan dari peredaran oleh produsen; ganti rugi; dan atau pencabutan izin.

 

Tidak hanya itu saja. Kontrol terhadap ketahanan pangan juga dilaksanakan oleh BPOM berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dan Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Dari situ, pangan yang beredar di masyarakat (khususnya produk dari industri pengolahan makanan/minuman) harus mendapatkan sertifikasi agar disebut layak dipasarkan dan dikonsumsi demi ketahanan pangan.

Lalu bagaimana agar Anda yang merupakan produsen atau yang berposisi sebagai konsumen, mendapat perlakuan yang sama atas ketahanan pangan? Berikut tipsnya, sesuai hukum pangan di Indonesia.

Aku adalah Konsumen
Sebagai konsumen, Anda menginginkan bisa mendapatkan pangan yang enak, aman dikonsumsi, bergizi, halal (terutama kaum muslim) dan berkualitas. Maka, ada beberapa hal yang harus diingat dan diperhatikan baik-baik.

  1. Pastikan pangan yang Anda konsumsi memiliki SERTIFIKASI RESMI dari badan yang berwenang seperti BPOM, MUI (halal) atau Dinkes (P-IRT).
  2. Pastikan pangan tersebut, label pada kemasannya memuat minimal: nama/merk dagang, nama dan jenis produk, logo sertifikasi, berat netto, penjelasan singkat produk, Expire Date (tanggal kadaluarsa), komposisi, kandungan gizi serta alamat/keterangan produsen.

Aku adalah Produsen

Sebagai produsen yang baik dan berkualitas, sebaiknya Anda menaati hukum dan aturan yang berlaku. Demi nama baik dan masa depan usaha/bisnis Anda.

  1. Daftarkan segera usaha Anda agar mendapat sertifikasi resmi. Jika UKM, uruslah P-IRT. Jika industri, uruslah ‘segera’ sertifikasi BPOM maupun MUI. Karena pengurusan sertifikasi sebenarnya mudah. Jika Anda segera mengurusnya dan melakukannya sesuai prosedur yang berlaku. Apalagi dengan adanya sertifikasi, maka persaingan industri pangan dapat Anda terjang.
  2. Bersikap JUJUR dalam memproduksi pangan. Contohnya, jika mencantumkan “Tanpa MSG” pada kemasan berarti produk tersebut benar-benar bebas MSG/vetsin.

Artikel ini adalah karya Nurlaili S (tim penulis artikel IsahKambali)

(Visited 351 times, 1 visits today)

Leave a Comment